Kenangan Dalam Gerimis
Bintang berdiri
di atas bukit dengan sepedanya.Dia meremas-remas tangannya yang
disertai keringat dingin. “Darrr..... “Hayo lama banget ya gue ?”.
Carissa tersenyum meminta maaf.Bintang merebahkan tubuhnya di pohon
besar dan Carissa pun mengikutinya. Mereka
berdua
sama-sama mendongak ke atas langit dan berbicara kepada diri mereka
masing-masing. Akankah nanti mereka pergi dari dunia ini ?
“Lo lagi inget orang tua lo ya?” Carissa merangkul kepala Bintang.
“Gue takut Ca, gue hanya takut.” Bintang melepaskan satu butir air matanya, dia merindukan orang tuanya.
“Gue sayang
lo Bintang, gue udah anggep lo jadi ade gue sendiri.Kita ini
saudara,sahabat,keluarga, lo inget itu?” Carissa menatap Bintang
lekat-lekat.
“Makasih
Ca.” Mereka pun berpelukan dan Bintang menumpahkan air matanya, untuk
kerinduan akan orang tuanya, kesendiriaannya, dan semua kekosongan yang
ia rasakan.
Mereka pulang menenteng sepeda masing-masing.Bintang merasa lega karena ia telah menangis, menumpahkan segalanya.
“Bintang lo cerita dong, lo udah janji bakal bilang siapa cowok yang lo suka.”
“Lo dulu aja Ca.” Bintang menyeringai, meminta dan memohon kepada Carissa.
“Lo dulu ah.” Carissa mengelak.
“Lo dulu Ca, entar abis lo baru gue, janji deh.” Bintang berusaha meyakinkan Carissa.
“Oke. Gue suka sama Mario, gue bener-bener suka sama dia. Bukankah gue pernah bilang?”
Bintang terdiam, bukankah itu yang akan dikatakannya? Kenapa harus keduluan oleh Carissa? Lalu bagaimana?
“Bintang lo denger kan?”
“Iya.”
“Gue suka sama Mario.Dia sering senyum ke gue, entah gue yang geer atau ngga tapi gue suka sama dia.”
“Oh.”
“Kalo lo suka sama siapa?”
“Gue gak tahu.”
“Kok lo gitu sih, lo kan udah janji sama gue, lo ga boleh tertutup gitu dong.”
“Gue suka sama ............’’
“Sama siapa?”
“Sama siapa ya ..... ’’
“Siapa namanya?”
“Gue gak tahu namanya.”
“Udah Bintang, gue tau ko lo suka sama Doni kan?”
Bintang
menganngguk pelan dengan ragu dan menatap wajah sahabatnya yang sedang
gembira. Oh Tuhan ... kenapa harus Doni , kenapa harus dia yang
terlibat?Bintang mengumpat dalam hati.
“Lo harus bantu gue biar dapetin dia.”
“Gue harus gimana?”
“Lo harus terus deketin dia, ngulik tentang dia.”
“Hm ... ‘’’
“Lo lakuin buat gue yah ?”
“Ya.”
“Gue juga bakal lakuin hal yang sama.”
“Apaaaaaaa?”
*
Bintang
masuk ke dalam rumahnya, dia meletakan sepedanya dengan asal di
perkarangan rumah.Dia enggan untuk mengembalikannya ke dalam garasi
mobil.Bintang langsung menuju kamarnya, meyalakan lampu dan duduk di
depan jendela. Gerimis sudah menyapanya sore ini, meski ia tak
merasakannya tapi ia menikmatinya di dalam kamarnya. Akhir-akhir ini
sering turun gerimis atau hujan sepanjang malam. Tapi dia lebih meyukai
gerimis dan pelangi sehabis hujan. Bintang melihat kompleks perumahannya
yang berderet memanjang saling menghadap ke jalan. Bintang mengambil
buku dan pensil kesayangannya. Dia menulis dan terus menggoreskan isi
hatinya dia atas kertas putih itu ..
Tuhan, aku
lelah dengan semuanya.Mereka selau bersandiwara di depanku. Apakah
mereka tidak merasa bahagia? Lalu aku siapa bagi mereka? Tuhan, mengapa
setiap aku menatap matanya aku merasakan kekosongan yang sama? Tapi hati
ini sejuk setiap kali dia berada di sampingku. Semua orang tahu bahwa
dia adalah cowok yang luar biasa.Dia tampan, pintar, dan populerTapi
kadang tatapannya begitu kosong, bahasa tubuhnya begitu dingin dan
kaku.Itulah yang kurasakan saat aku duduk bersamanya. Kami memang tak
sering banyak bicara, hanya saja sering berbasa basi. Carissa bilang dia
menyukainya, lalu kenapa aku juga harus menyukainya? Apa aku bisa masuk
ke dalam dunianya? Apakah dia juga selalu merasakan kesenidirian yang
selalu aku rasakan selama ini? Aku tidak tahu .. Aku tak ingin tahu...
Bintang
merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Dia memeluk gulingnya, lau menoleh
ke samping kannanya menatap foto orang tuanya. Mama Papa, jangan
tinggalin aku.Carissa, Bude Rini, Opa,Om Roy, kalian orang-orang yang
sayang aku, aku juga sayang kalian.
*
Prang........
Tiba-tiba suara itu menghantam telinga Bintang. Bintang terperanjat
kaget dan bangun dari tidurnya.Tak perlu waktu lama untuk memikirkan
dari mana arah suara itu.Bintang langsung keluar dari kamarnya menuruni
tangga dan menuju ruang tamu.Dia melebarkan matanya ketika masih berdiri
di anak tangga.Mama Papa? Kenapa mereka? Mengapa Mama menangis? Mengapa
Mama mendorong Papa hingga terjatuh? Oh Tuhan .. Ada apa dengan semua
ini? Bintang kembali berlari menaiki tangga menuju kamarnya.Dia langsung
melompat ke atas ranjang dan memeluk gulingnya. Bintang kembali
menumpahkan air matanya.
Tuhan
mengapa mereka harus bertengkar? Salah apa Papa sehingga Mama harus
mendorongnya hingga terjatuh? Tuhan, kenapa Mama menangis? Tuhan ..
kenapa Tuhan? Kenapa?
*
Bintang
duduk seperti biasa di depan jendela menatap cahaya matahari sore. Dia
bosan sendirian, tadi dia melihat papanya pulang dan langsung tidur.
Bintang keluar dari kamarnya menjinjing jaket kulitnya dan berpamitan
kepada Mbok Rumi untuk pergi sebentar. Mamanya pergi ke luar kota selama
satu minggu dan kembali memperkerjakannya pembantunya.
Bintang
berjalan di sekitar area kompleks yang sepi. Dia duduk di sebuah ayunan
yang di depannya terdapat sebuah danau kecil. Dia bergelayun layaknya
saat ia masih jadi anak TK. Tiba-tiba ayunan itu terhenti, dia menoleh
ke samping dan Mario ada di sana.
“Rio lo ngapain di sini?”
“Keliatannya?”
“Nggak ngapa-ngapain.”
Mario
tersenyum tipis. Bintang memandanginya dengan teliti, dia selalu
mendapat kesan kagum setiap kali memandang wajahnya. Tampan.
“Jalan-jalan yuk?”
“Kemana? Menurut lo bakal hujan gak yo?”
“Paling gerimis doang.”
Bintang tersenyum bahagia. Mereka berjalan menyusuri jalanan kompleks yang sunyi.
“Mario lo punya adek, punya kakak, atau anak tunggal?”
“Gue anak tunggal, kenapa?”
“Nggak, gue juga anak tunggal. Kalo orang tua lo gimana?”
“Ibu gue seorang dokter gigi, Ayah gue kepala rumah sakit.”
“Oh pantesan gigi lo rapi.” Bintang tertawa.
“Kalo ibu gue punya beberpa hotel di Jakarta, dia seorang bisniswoman, Ayah gue juga Direktur perusahaan.”
Bintang mendongak ke atas langit, menatap langit yang mulai mendung.
“Apa yang lo suka Yo?”
“Apa aja.”
“Pasti lo suka matematika, suka basket, suka musik, dan lo suka apa aja.”
“Kalo lo?”
“Gue suka gerimis, gue suka pelangi, gue suka sastra, gue suka boneka, gue suka bunga, gue suka banyak.”
“Lo gak suka matematika, lo gak suka sejarah .. ’’
“Haha gue gak suka tuh sama semua pelajaran yang ada di sekolah.”
“Lo suka sastra.”
“Tapi gue Cuma suka sastra Prancis, sastra indonesia gue gak terlalu suka selain novel.”
“Gue suka coklat.”
“Gue gak suka coklat, gigi gue udah bolong-bolong.”
Mario mengelus-ngelus kepala Bintang. Bintang kaget dengan apa yang di lakukan Mario kepadanya.
“Ini rumah gue ... “
“Hah ini rumah gue .. jadi rumah kita berhadapan?”
Mario tak
menjawab, dia langsung membuka pagar rumahnya dan masuk ke dalam rumah.
Bintang masih terdiam disana dan menatap rumah Mario. Jadi selama ini
rumah aku sama Mario satu kompleks dan berhadapan? Oh Tuhan ...
*
Pagi hari
Bintang menuruni tangga lengkap dengan seragam dan tasnya. Dia berjalan
menuju meja makan dan langsung menyambar roti isi kacang kesukaannya.
Bintang
berdiri di pinggir jalan celingukan mencari-cari Mario. Kok selama ini
gak pernah ketemu yah? Bintang berdiri selama setengah jam dan hasilnya
nihil. Apa dia berangkat subuh kali ya? Bintang berjalan pergi
meninggalkan rumahnya. Dia tak mau terlambat seperti hari kemarin, harus
ketinggalan pelajaran dan susah meminjam catetan Mario
*
Bintang
duduk di kursinya dan menatap soal-soal yang ada di depannya dengan
bingung. Kok susah banget sih soalnya? Bintang menyesali kebodohannya
dalam hitungan. Dia menoleh ke belakang memandangi Carissa, ah dia pasti
bisa, dia kan pintar.
“Lo gak nyatet materinya.” Mario berucap datar.
“Emang.” Bintang hanya bisa pasrah, dia kembali menatap satu persatu angka-angka di depannya. Rasanya aku mau muntah ....
Kringg..........
bel sekolah berbunyi tanda waktu pulang sekolah telah tiba. Semua anak
berteriak lepas, rasanya seperti sedang merdeka 45.
“Lo kalo mau nungguin gue jangan tunggu di pinggir jalan.”
“Hah apaaa? Siapa juga yang nungguin lo, geer banget sih.”
“Kalo lo mau nyalin matematika, dateng jam 4 ke rumah gue.”
Mario pergi
keluar kelas dan memperlihatkan senyum tipis andalannya. Oh Tuhan,
sumpah aku gak tahan liat senyumnya.Tiba-tiba Carissa datang menghampiri
Bintang untuk mengajaknya pergi ke Mall. Bintang mengiyakan saja karena
dia juga bosan berada di rumah asal sampai pukul 4 sore, karena dia
sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menerima tawaran Mario.
Bintang
pergi ke foodcourt di sebuah mall di Bandung. Dia pergi naik taksi
bersama Carissa. Biar keren turunnya, kata Carissa menjelaskan saat
Bintang menolak untuk naik taksi karena uangnya hanya pas-pasan.
“Oh iya, Mario gimana?”
“Dia baik-baik aja.”
“Maksud gue lo tau apa aja tentang dia?”
“Dia suka Matematika,basket,musik,dan suka coklat.”
“Sama sama penggemar coklat dong.”
“Gue pernah
ngobrol sama dia di acara feskal musik. Yah, cuman ngobrol ngalor ngidul
gitu, tapi gue seneng.”Gue juga, jawab Bintang dalam hati.
Setelah
asyik mengitari mall akhirnya mereka pulang naik angkutan umum yang
berbeda. Carissa bertempat tinggal di pinggir jalan raya yang dipenuhi
dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Carissa adalah anak tunggal
dari seorang pejabat dengan predikat orang terkaya ke-8 se-indonesia,
tentu saja rumahnya mewah dan bertempat di kawasan elit. Sedangkan
Bintang hanya bertempat tinggal di area kompleks yang sepi dan
sederhana, yang kadang rumah-rumahnya tak berpenghuni semua. Sama
seperti rumah Bintang yang setiap harinya terasa kosong lenyap tak
bernyawa.
Bintang
turun dari angkutan umum dan berjalan menuju area kompleks perumahannya.
Dia berjalan sendirian dan sesekali menendang kaleng-kaleng bekas yang
ada di bawah kakinya. Tit tit tit tit ... suara klakson sepeda
motormengagetkannya.
“Cepet
naik.” Mario menatap Bintang dengan tatapan yang tajam. Bintang menurut
saja kepada Mario, tak peduli dengan rasa malu yang ada dalam dirinya.
Mereka berhenti di depan rumah Mario, lalu masuk ke dalam rumah yang
pintunya terbuka begitu saja. Bintang mengikuti kemana Mario melangkah.
Dan tibalah di tempat tujuan, yakni kamar Mario.
“Lo belum belajar yang mana aja?”
“Bab 3 gue gak ngerti, bab 5 bab 4 juga sama.”
“Lo ngapain aja di kelas?”
“Gue gak ngerti , hehe ...”
Mario
menyuruh Bintang duduk di atas lantai. Mario menerangkan satu persatu
materi yang menurut Bintang tak mengerti. Mario menyuruh Bintang untuk
mengerjakan soal-soal yang ia tulis di buku Bintang. Seperti layaknya
murid yang baik, Bintang mengangguk saja setiap apa yang di perintahkan
Mario kepadanya. Setelah satu jam berkutat dengan Trigonometri dan
Mathematical logic, akhirnya mereka beristirahat.
“Lo mau minum apa?”
“Apa aja.”
“Air putih?”
“Boleh.”
Mario
melangkah keluar kamarnya menuju dapur mengambil makanan dan minuman,
sedang Bintang asyik berpetualang dengan isi kamar Mario. Bintang
memandangi foto-foto kecil Mario bersama orang tuanya. Rasanya dia
pernah bertemu dengan Mario kecil yang ada dalam foto ini. Dia menyentuh
semua koleksi gitar milik Mario yang tergantung di dinding kamar.
Mario
kembali ke kamar dengan membawa minuman dan snack. Mario membawa satu
gelas air putih dan satu gelas orange juice serta keripik kentang.
“Ko gue minum air putih sedangkan lo minumnya jus?”
“Kenapa lo gak minta kalo mau?”
“Lo nawarinnya air putih.”
“Kenapa lo gak nolak?”
“Yaudah.”
Mereka
menghabiskan minuman dan kerpik kentang satu toples penuh sehingga tak
terasa waktu sudah menjelang malam. Bintang melirik jam tangannya, lalu
membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai.Bintang menuruni
tangga dan bergegas menuju pintu utama rumah untuk pulang. Bintang
melambaikan tangannya dan masuk ke dalam rumahnya. Ketiba tiba di rumah,
Bintang mengintip lewat jendela yang ada di ruang tamu dan memandangi
punggung Mario yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya.
Bintang tersenyum gembira. Bintang berlari menaiki tangga untuk
mengganti pakaiannya karena sebentar lagi jam makan malam bersama
ayahnya telah tiba.
Ketika
Bintang menghabiskan makan malamnya, Bintang bertanya pada ayahnya. “Pah
tau gak sih sama penghuni rumah di depan kita? Bintang menatap ayahnya
menunggu jawaban yang pasti. “Pak Hanggara maksud kamu?” Ayahnya masih
mengaduk-ngaduk sisa kuah sotonya. “Ayah tahu?” Bintang mengernyitkan
dahinya, dia tidak mengetahui siapa pak Hanggara itu. “Bukankah dia
sudah 17 tahun tinggal di sini? Papah rasa anaknya juga seumuran dengan
kamu, mungkin teman kecilmu juga.” Bintang terdiam kaku, otaknya terus
berpikir, mengapa dia tidak pernah tau tentang Mario? Bintang menelan
ludah.
*
Bintang
duduk di lantai lapangan basket di temani Mario. Bintang membuka
ranselnya dan mengeluarkan satu botol air mineral dari dalam tasnya.
“Lo pasti haus.” Ucap Bintang seraya memberikan botol minuman itu kepada Mario.
“Thanks.” Mario menerima minuman tersebut dan tersenyum tipis.
Hari sudah
menjelang sore, mereka pun pulang meninggalkan lapangan basket dan
berjalan menuju rumah mereka. Setiap hari Rabu dan Kamis mereka akan
selalu berangkat sekolah bersama dan tentunya pulang sekolah pun
bersama-sama. Mereka sama-sama mengikuti ekskul pada hari tersebut. Hari
ini seperti biasa Bintang menunggu Mario sampai selesai latihan.
“Rio hidung lo ko berdarah, jatuh dimana?”
“Tadi kelempar bola.”
“Sini gue bersihin darahnya”
“Terserah.”
Bintang
mengelap hidung Mario yang berdarah dengan beberapa helai
tisyu.“Thanks.” Mario menatap Bintang dalam dalam, seakan akan ingin
masuk ke dalam dua bola mata yang hitam itu, dua bola mata yang sinarnya
redup sehingga terlihat sayu.
Setelah
selesai mengobati Mario, akhirnya keduanya melanjutkan perjalanan
mereka. Tiba-tiba Hujan mengguyur kota Bandung, mengguyur mereka
berdua.“Gue bawa payung.” Bintang mengeluarkan payung dari ranselnya.
“Tas lo serba ada.” Mereka pun tertawa bersama. Hujan semakin deras dan
mereka masih setengah perjalanan menuju rumah. Lalu Mario melepaskan
jaket yang di kenakannya dan mengenakannya di punggung Bintang. “Lo
pasti kedinginan.” Mario megucapkannya dengan datar. “Thanks.” Bintang
tersenyum manis kepada Mario.
Bintang
mengantarkan Mario sampai depan rumahnya. “Ini jaket lo.” Bintang
mencoba melepaskan jaket yang di kenakannya. “Buat lo aja.” Mario
berlari masuk ke dalam rumahnya dan Bintang masih berdiri di sana.
“Hujan, hari ini kau memberikan rasa kebahagiaan, yang aku pun tak tau
mengapa.”
*
Kringgggg.........
Hari ini Bintang kesiangan, Mbok Rumi lupa membangunkannya, sedang jam
wekernya entah mengapa tak berbunyi. Bintang berlari menuju koridor
sekolah dan sempat berhenti di mading lalu hendak pergi menuju toilet.
Rasa sakit perut yang tiba-tiba datang begitu saja membuat Bintang
sedikit menderita. Bintang terhenti ketika dia belum sampai di toilet,
dia berpapasan dengan Mario yang sedang menenteng beberapa buku. “Lo
kenapa?” Mario terheran-heran melihat wajah Bintang yang pucat. “Gue
sakit perut.” Bintang memaksakan senyumannya dan langsung melanjutkan
perjalanannya menuju toilet. Mario mengikuti Bintang menuju toilet, dia
berhenti ketika Bintang masuk ke dalam salah satu kamar toilet
perempuan. Semua perempuan yang masuk ke dalam kamar mandi tak henti
menatap wajah Mario yang sedang berdiri di depan pintu toliet. Mario tak
peduli dengan semua itu,ia malah balas menatap tajam permpuan-perempuan
yang cekikikan menertawakannya.
Setelah
keluar dari toilet, akhirnya Bintang dan Mario duduk bersama di sebuah
kursi taman. Banyak orang yang berlalu lalang di depan mereka. Ada yang
menatapnya tidak suka, ada yang tersenyum salah tingkah, dan ada pula
yang terlihat biasa saja. Bintang memakluminya karena dia tahu Mario
adalah salah satu cowok famoust di sekolah. Namun terkadang wajahnya
yang flat, bahasa tubuhnya yang dingin, tatapan matanya yang serius
membuat sekian banyak perempuan menyerah begitu saja. Banyak siswi-siswi
perempuan yang menyimpan surat cinta mereka di loker Mario atau
menyimpan bunga yang akhirnya di biarkan sampai kering di kolong meja
Mario oleh Mario sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa Mario cocok
dengan Carissa dikarenakan sama sama famoust, sama-sama cantik dan
tampan. Tapi Bintang tak pernah tahu siapa perempuan yang Mario
suka. Apa Mario selalu menolak perempuan yang menyukainya? Entahlah
Bintang tak pernah mengetahuinya. Bintang merasa tak ada perempuan yang
bisa membuat hatinya luluh. Bintang berharap dia bisa masuk dalam
hatinya dan memilikinya untuk selamanya.
*
Sudah satu
tahun berlalu, Bintang kini duduk di kelas 2 bangku SMA. Bintang masih
bisa mengingat kembali ketika dia pertama kali menginjakan kakinya di
sekolah ini. Rasanya baru kemarin dia mengikuti kegiatan masa orientasi
siswa(MOS). Bintang memejamkan matanya dan sesekali mendongak ke atas
langit menatap langit biru. Mengapa hari ini tidak ada gerimis? Mengapa
hari ini tidak ada pelangi?
“Gue udah
nyimpen perasaan ini satu tahun. Entah kenapa banyak cowok yang gue
tolak, rasanya gue belum bisa .. gue suka sama Mario.”
“Gue ngerti.”
“Selama ini gue hanya tau dia dari cerita-cerita yang lo ceritain ke gue aja. Gue juga pengen milikin dia, lo bantuin gue yah?”
Bintang
terdiam. Apa yang di katakan Carissa barusan membuatnya terdiam kaku.
Bintang berdiri meninggalkan Carissa yang masih terlentang di atas
bukit. Bintang pulang menuju rumahnya. Ketiba tiba di depan rumahnya
Bintang berpapasan dengan Mario. Bintang memalingkan wajahnya dan
bergegas membuka pagar lalu masuk ke dalam rumahnya. Bintang membuka
pintu kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kenapa
hati ini begitu sakit? Kenapa Carissa harus mengatakan hal itu? Mario
... gue takut kehilangan lo.. Bintang melepaskan butir-butir air matanya
yang kian lama terus membasahi pipinya.
*
Terik
matahari membakar kulit dua insan itu. Sepanjang perjalanan menuju rumah
mereka, mereka hanya diam. Bintang sesekali melap keringat yang
bercucuran di wajahnya denngan tangannya sendiri. Mario hanya diam
melihat semua yang dilakukan Bintang, dari mulai menggigit
bibir,meremas-remas tangan, menyapu keringatnya padahal sudah tak ada
keringat yang menempel di kulitnya,dia mengetahui bahwa Bintang sedang
dalam keadaan gugup atau nervous.
“Mario ada yang mau gue omongin.” Bintang menatap lurus jalan yang ada di depannya.
“Apa?” Mario mngucapkannya seakan tidak ingin bertanya.
“Carissa suka sama lo.” Bintang mencoba mengucapkan kalimat itu meski terasa sakit.
“Lalu?” Mario menatap Bintang seakan akan mencari tahu di balik dua bola matanya.
“Dia pengen jadi pacar lo?” Bintang mencoba terlihat biasa saja.
“Lo pengen gue jadi pacar Carissa?” Mario berucap datar.
“Gue harap
lo mau.” Bintang menarik napas dalam-dalam dan pergi meninggalkan Mario
yang berdiri di depan rumah Bintang. Bintang masuk ke dalam rumahnya dan
berlari menaiki tangga membuka pintu kamarnya dan duduk di balik pintu
kamarnya. Dia memejamkan matanya dan meremas-remas tangannya. Rasanya ia
sulit bernapas, sehingga seluruh anggota tubuhnya terasa sakit,
merasakan apa yang ia rasakan. Bintang tak tahu kenapa ia harus
menangis, kaena toh sebenarnya dia tak berhak untuk menangis.
*
Sudah dua
minggu berlalu Bintang tak mengobrol ataupun bertegur sapa dengan Mario.
Dia tak lagi satu tempat duduk dengannya, karena tempat duduk mereka
selalu di rolling satu minggu sekali. Bintang malas melihat Mario
apalagi Carissa yang setiap bertemu pasti bercerita tentang Mario. Dia
selalu pura-pura tidak melihat atau membuang muka ketika berpapasan
dengan Mario dan Carissa. Bintang benar-benar menjauhi Mario dan
Carissa. Rasanya begitu sakit harus melihat mereka berjalan berdua atau
hanya sekedar terlihat mengobrol. Dia benci pemandangan tersebut.
Apalagi kalo Bintang harus melihat Mario yang membonceng Carissa di saat
pulang sekolah. Meski bintang menyadari bahwa dia bukan siapa-siapa
Mario yang tak berhak untuk bertindak seperti itu, tapi Bintang merasa
hatinya begitu sakit ketika Carissa benar-benar memiliki Mario. Mengapa
dia tidak mendapatkan apa yang di dapatkan Carissa? Carissa nyaris
sempurna sebagai seorang perempuan, dia cantik, pintar,kaya, famoust dan
baik. Rasanya dunia tak adil bagi Bintang, dia tak begitu cantik, dia
lemot dalam hitungan, keluarga yang sederhana dan hubungannya tak
harmonis, tak banyak orang yang mengenalnya karena dia bukan siswi yang
senang ikut berorganisasi seperti Carissa yang menjabat sebagai ketua
OSIS.
Akhirnya aku
pun harus mengalah terhadap keadaan. Menerima semua yang terjadi
meskipun aku tak pernah menginginkannya. Aku berhenti untuk
mengharapkanmu, membiarkanmu berlalu seperti angin. Tanpa rasa yang
pasti aku melepaskanmu pergi. Seandainya aku boleh memilih untuk tidak
ingin memilikimu, dan tuhan membuatmu menjadi hal biasa saja untuku.
Rasanya semuanya menyakitkan buat aku, membuat aku terjatuh, lunglai,
tak berdaya. Tak cukup aku berteriak, tak cukup aku menangis... Mario
apakah kau mengerti perasaanku ....
*
Akhirnya
Bintang tiba di tempat yang selama ini ia banggakan, yakni Puncak yang
bertempat di daerah kawasan Cianjur-Bogor. Hari ini adalah liburan akhir
tahun yang di adakan oleh sekolah. Bintang menyeret dua kopernya menuju
Villa. Tiba-tiba Carissa memeluk Bintang yang datangnya entah dari
mana. Bintang terkejut. Mengapa Carissa tiba-tiba memeluknya? “Bintang
gue kangen sama lo, gue pengen kita liburan bareng di sini, maafin gue
kalo selama ini nyuekin lo.” Bintang melepaskan pelukan Carissa, dia
tersenyum seraya berkata “Maafin gue juga.”
Malam hari
tiba saatnya untuk acara bakar ikan di halaman belakang Villa. Semua
anak-anak menyalakan api unggun dan bergembira ria bernyanyi
bersama-sama. Kecuali Bintang yang hanya diam menyaksikan mereka semua
dari kejauhan. Bintang duduk di atas rumput dan mendongak ke atas
langit. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya dan ikut mendongak ke
atas langit.
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit.?”
“Ngapain lo di sini?”
“Terserah gue. Kenapa lo harus jauhin gue?”
Bintang
terdiam dan mengarahkan pandangannya ke semua anak-anak yang sedang
berkumpul di halaman belakang. Mario berdiri dan menatap Bintang
lekat-lekat. “Maafin gue, gue pengen kita tetep temenan kaya dulu.”
Bintang hanya menunduk tak berani menatap Mario. Bintang beranjak dan
akan kembali ke kamarnya. Dia ingin istirahat, dia tak mau memikirkan
Mario.
Bintang
membuka pintu kamarnya dan mendapati Carissa sedang duduk di jendela
kamar. Mereka saling berpandangan lalu saling melempar senyum. Bintang
mendekat kepada Carissa dan membelai rambut panjang nan indah itu.
“Lo suka gak sih sama Mario?” Carissa menatap wajah Bintang.
Bintang tersenyum “Banyak perempuan yang menyukainya.”
“Gue cape,
selama ini gue tak pernah tau apa yang sedang gue pertahanin. Lo tau gak
berapa kali kita kontekan dalam satu hari? Kita juga pernah nggak
kontekan selama 3 bulan. Tak ada yang istimewa dalam hubungan kami, tapi
mengapa aku berat untuk melepaskannya?”
Bintang
terdiam setelah mendengarkan pengakuan Carissaa. Dia tak ingin berpikir
banyak untuk saat ini. Dia memilih untuk tidur meski sulit memejamkan
matanya.
*
Pagi yang
cerah Bintang berjalan menysuri kebun teh. Dia merasakan udara segar
menyapanya di pagi hari ini. Tiba-tiba kakinya terpeleset sehingga ia
pun terjatuh ke tanah. Bintang meringis menahan rasa sakit akibat luka
di kakinya. Lalu dari arah kejauhan tampak seorang laki-laki berlari
menghampiri Bintang. Laki-laki tersebut membantu Bintang berdiri dengan
merangkul pundaknya. “Thanks.” Bintang mengucapkannnya dengan ragu dan
tak berani menatap wajah laki-laki itu.
Setelah tiba
di Villa, mereka berpapasan dengan Carissa dan Doni. Namun mereka tetap
melanjutkan langkah kaki mereka menuju kamar Bintang. Bintang duduk di
ranjangnya dan menatap laki-laki itu secara perlahan-lahan. “Gue sayang
sama lo.” Ucap laki-laki itu dengan mantap. Gue juga, jawab Bintang
dalam hati. Bintang menatap laki-laki itu yang berjalan membelakanginya
lalu terhenti tepat di pintu kamar. Di sana berdiri seorang perempuan
yang menatap Bintang tanpa henti. Bintang menunduk tak berani
mengarahkan pandangannya ke arah pintu kamarnya. “Kita putus ya
Carissa.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam “Oke kalo itu yang lo
mau.” Bintang terdiam memandangi mereka yang pergi meninggalkan dia
seorang diri di kamarnya. Bintang kembali menatap kakinya yang masih
mengeluarkan tetesan darah segar. Oh Tuhan apa yang telah terjadi?
*
Bintang
menatap Mamanya yang masih terdiam sedari tadi. Teh yang ada di hadapan
mereka sudah berubah menjadi dingin. Lalu Mama memulai pembicaraannya
dengan menatap mata Bintang lekat-lekat.
“Mama minta
maaf sebelumnya karena Mama harus mengatakan yang sebenarnya. Mama lelah
harus terus menyembunyikannya, harus terus pura-pura seolah-olah tak
terjadi apa. Mama sudah tak mampu mempertahankan keluarga ini. Mama rasa
ini keputusan terbaik untuk Mama sama Papamu. Maafkan Mama.” Mama pun
mulai menangis. Bintang memeluk Mamanya dengan erat, dan mereka pun
menangis bersama.
Satu
kenyataan yang harus Bintang terima adalah bahwa keluargannya sudah tak
utuh lagi dan kekosongan yang selama ini rasakan memang berakhir pada
titik puncak dimana kekosongan itu akan terjadi selamanya dalam
hidupnya. Bintang akan tinggal di Jakarta bersama Papanya, sedangkan
Mamanya tetap di Bandung untuk tetap mengurus pekerjaannya. Bintang
sedih harus meninggalkan kota kelahirannya ini, kota yang menjadi bagian
terpenting dalam hidup Bintang. Dia duduk dan menatap sebuah danau
kecil yang airnya hampir surut, kini telah tiba musim kemarau dimana dia
tak akan dapat menemukan gerimis dan pelangi lagi. Tuhan mengapa
semuanya terjadi tanpa aku mau? Apakah aku tak berhak memiliki mereka,
yakni orang-orang yang aku sayangi? Mario duduk di samping Bintang
menatap matanya dalam-dalam. Mario memeluk Bintang erat dan membiarkan
Bintang menangis di bahunya. Mario merangkul pundak Bintang dan menatap
matanya dalam-dalam.
“Gue gak mau
lo sedih, karena gue juga bakal sedih. Selama ini gue selalu mencoba
untuk berdamai dengan kesedihan. Gue gak mau orang-orang yang sayang
sama gue ikut sedih karena gue. Mereka adalah orang yang berbaik hati
nan tulus yang menyayangi gue selama 12 tahun. Gue terkadang sedih
ketika gue selalu merepotkan mereka. Dari kecil gue sering sakit-sakitan
jadi gue berubah jadi anak rumahan yang nggak pinter bergaul, yang di
bilang anak aneh sama semua orang.”
“Lo pasti menyimpan banyak kesedihan?”
“Kesedihan itu udah jadi kebahagiaan buat gue.”
Mario ,
kepadamu, aku menyimpan cemburu dalam harapan yang tertumpuk oleh sesak
dipenuhi ragu.Terlalu banyak ruang yang tak bisa aku buka. Dan,
kebersamaan cuma memperbanyak ruang tertutup.Mungkin, jalan kita tidak
bersimpangan. Ya, jalanmu dan jalanku. Meski, diam- diam, aku masih saja
menatapmu dengan cinta yang malu- malu.
Satu taun
berlalu, Bintang berjalan di sebuah kompleks perumahan yang sepi.
Bintang tak pernah merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya.
Semuanya masih terasa sama, bahkan tak ada sedikit pun yang berubah.
Bintang menghampiri seorang wanita yang hendak menutup pagar.
“Maaf bu, apakah ini rumahnya Mario Hanggara?”
“Silakan
masuk dulu ke dalam.” Ibu itu membukakan pagarnya dan menyuruh Bintang
masuk ke dalam rumahnya. Lalu Bintang duduk di sebuah sofa kecil sambil
menatap ke sudut-sudut rumah yang terlihat sepi.
“Nak
Bintang, Mario sudah pergi satu tahun yang lalu.” Bintang tercekat,
nafasnya tiba-tiba berubah menjadi sesak. Apakah ia tak salah dengar?
Apakah ibunya Mario sedang bergurau? Apakah dia sedang bermimpi?
“Mario
pernah menitipkan benda ini untuk diberikan kepada seorang gadis yang
bernama Bintang. Dia mengatakan bahwa suatu saat nanti gadis itu akan
datang mencarinya. Ibu rasa benda ini ditujukan untuk kamu karena selama
ini ibu menunggu gadis yang akan datang ke rumah ini.”
Setelah
menerima benda itu Bintang berpamitan kepada sang Ibu untuk pulang.
Bintang berjalan menuju rumahnya yang sudah lama ia tinggalkan , dia
membuka pagar dan berdiri disana. Dia kembali mengingat satu tahun ke
belakang ketika Mario berdiri di sana untuk berangkat bersama ke
sekolah. Bintang tak percaya kini semuanya tinggal kenangan, kenangan
yang paling berarti bersama Mario.
Bintang
membuka pintu kamarnya dan duduk menghadap ke jendela. Bintang perlahan
membuka kotak yang di berikan ibu Mario tadi. Sebuah buku tergelatak di
sana. Bintang meraih buku itu dan perlahan mencoba untuk membukanya.
*Gadis itu
bernama Bintang, aku menatapnya dengan tajam ketika dia berdiri di depan
mading. Dia adalah teman sebangku ku untuk tahun ini, tahun pertama aku
masuk SMA. Dia lumayan baik, setidaknya dia tak seperti kebanyakan
orang sebelumnya yang malas berhadapan dengan aku yang sering di panggil
anak aneh. Matanya yang bulat yang entah mengapa memberi sedikit
kehangatan saat setiap kali aku menatap wajahnya. Hari ini aku
mengembalikan bukunya yang tertinggal di kantin. Dia selalu menatapku
malu-malu dan penuh ragu. Dia begitu canggung denganku, namun aku tak
pernah menemukan rasa tidak suka di wajahnya kepadaku, setidaknya aku
mempunyai seorang teman saat ini.
*Dia adalah
gadis kecil yang pernah aku ejek namanya dahulu. Dia adalah teman
terakhirku saat aku masih duduk di bangku dasar kelas 2. Sejak aku
mengetahui bahwa aku mengidap sebuah penyakit yang sangat parah, aku tak
pernah menatap wajah gadis kecil itu lagi. Tapi hari ini dia duduk di
sampingku di lapangan basket. Kami memang menjadi dekat entah kenapa.
Kami sering pulang bersama, belajar bersama, berangkat sekolah bersama,
ataupun bermain di depan danau sambil berayunan. Aku merasa sebagian
jiwaku begitu hidup. Aku tak pernah menghirup udara luar, karena aku tak
mau penyakit ini kambuh dan berubah menjadi lebih parah lagi. Namun
akhir-akhir ini hidungku selalu mengeluarkan darah. Dia pernah menyeka
darah yang mengalir dari hidungku, aku bahagia karena dia begitu baik
padaku.
*Aku
menyukainya dari pertama aku bertemu dengannya, meski aku tak pernah
mengatakannya.Dia menyuruhku untuk menjadi pacar Carissa. Hari ini
Carissa nembak aku, dan aku tak menjawabnya. Sejak itu dunia kembali
berubah seperti dulu, Bintang menjauhiku. Penyakit ku kembali menyerang
tubuhku, rasanya tubuhku terlalu lemah saat ini. Mungkiin Bintang
membenciku, karena Carissa menjadi pacarku. Jujur, aku tak pernah ingin
dia pergi dari hiudpku.
*Dia akan
pergi meninggalkan kota Bandung, meninggalkan kesedihannya selama ini.
Aku merangkul pundaknya untuk terakhir kali. Dia telah menjadikan
hidupku lebih berarti. Bintang .... aku menyayangimu, selamanya. Terima
kasih kau telah memberikan ku cahaya di sisa akhir hidupku ....
FOR YOU, FOR LOVE .. BINTANG
“Lo tau kenapa hari ini gak ada bintang di langit?” Karena telah ada bintang yang terindah yang kini ada di sampingku.
“For you for
love, Mario” Bintang meletakan seikat bunga lili di atas makam
Mario.Thanks Rio, kamu udah jadi teman yang begitu berarti sampai saat
ini.Aku tak akan pernah melupakanmu sedikit pun. Selamat tinggal Mario,
aku mencintaimu. Aku hanya berani mengatakannya sekarang, setelah kau
pergi selamanya. Biarkan aku hidup bersama cintamu di sini.Aku dan kamu,
seperti hujan dan teduh. Pernahkah kau mendengar kisah mereka? Hujan
dan teduh ditakdirkan bertemu, tetapi tidak bersama dalam
perjalanan.Seperti itulah cinta kita. Seperti menebak langit abu- abu.
Mungkin, jalan kita tidak bersimpangan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berlaku baik dalam berkomentar^^
Tdk mengandung unsur Sara.
Terimakasih telah berkunjung di Blog Kecil saya !!
Sering2 mampir yaa^^ ..